Selasa, 13 Desember 2016

IMUNOLOGI KANKER



Pengertian Imunologi Kanker

Imunologi kanker adalah studi tentang interaksi antara sistem kekebalan tubuh dengan sel-sel kanker (juga disebut tumor atau keganasan). Ini juga merupakan bidang penelitian yang bertujuan untuk menemukan immunoterapi inovatif guna mengobati kanker dan menghambat perkembangan penyakit ini.

Kanker

Kanker adalah istilah yang digunakan untuk penyakit di mana sel-sel membelah secara abnormal tanpa kontrol dan mampu menyerang jaringan lain. Sel-sel kanker dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh melalui darah dan sistem getah bening.

Proses Sel normal menjadi sel-sel kanker karena akibat kerusakan DNA. Dalam sel normal, ketika DNA rusak maka akan terjadinya perbaikan kerusakan atau sel tersebut akan mati. Namun Dalam sel-sel kanker, DNA yang rusak tidak diperbaiki, dan sel tersebut tidak mati seperti seharusnya. 

Sebaliknya, sel ini terus membuat sel-sel baru yang tidak diperlukan tubuh. Sel-sel baru ini semuanya akan memiliki DNA yang rusak.

Dalam kebanyakan kasus sel-sel kanke membentuk tumor. Namun jenis kanker seperti leukemia, jarang membentuk tumor. Sebaliknya, sel-sel kanker ini melibatkan darah dan organ pembentuk darah dan beredar melalui jaringan lain di mana mereka tumbuh.

Sel-sel kanker sering melakukan perjalanan ke bagian lain dari tubuh, di mana mereka mulai tumbuh dan membentuk tumor baru yang menggantikan jaringan normal. Proses ini disebut metastasis. Hal ini terjadi ketika sel-sel kanker masuk ke dalam aliran darah atau pembuluh getah bening tubuh kita.

Kanker bukan hanya satu penyakit tapi banyak penyakit. Ada lebih dari 100 jenis kanker yang berbeda. Sebagian besar kanker diberi nama untuk organ atau jenis sel di mana mereka mulai berkembang atau terserang. misalnya, kanker yang dimulai di payudara disebut kanker payudara, kanker yang dimulai di mulut rahim atau serviks disebut kanker serviks. begitupun dengan kanker pada organ tubuh lainnya.

Respon Imun Terhadap kanker

Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik pada sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral.

Cermin Dunia Kedokteran No. 132, 2001 47 Respons sistem imun terhadap sel kanker dapat dibagi dua yaitu:

1.      Imunitas humoral terhadap kanker.

Meskipun imunitas selular pada kanker lebih banyak berperan dibanding imunitas humoral, tetapi tubuh membentuk juga antibodi terhadap antigen kanker.Antibodi tersebut ternyata dapat menghancurkan sel kanker secar langsung atau dengan bantuan komplemen atau melalui sel efektor ADCC. Yang akhir memiliki reseptor Fc misalnya sel NK dan makrofag (opsonisasi) atau dengan jalan mencegah adhesi sel kanker.

Pada penderita kanker sering ditemukan kompleks imun, tetapi pada kebanyakan kanker sifatnya masih belum jelas. Antibodi diduga lebih berperan terhadap sel yang bebas (leukemia,metastase kanker) dibanding kanker padat. Hal tersebut mungkin diseabkan karena antibodi membentuk komleks imun yang mencegah sitotoksisitas sel T.

2.      Imunitas selular terhadap kanker.

Pada pemeriksaan patologi anatomi kanker, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mast. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrat sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik, tetapi pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem imun dapat langsung menghancurkan sel kanker tanpa sensitasi sebelumnya.

Limfosit matang akan mengenal TAA dalam pejamu, meskipun TAA merupakan self protein yang disandi gen normal. Adanya limfosit yang self reaktif nampaknya berlawanan dengan self-tolerans.

Bila sel B dan sel T menjadi matang dalam sumsum tulang dan timus, limfosit yang terpajan dan berikatan dengan self antigen akan mengalami apoptosis. Namun banyak self-antigen tidak dielkspresikan dalam sumsum tulang atau timus. Oleh karena deletion sentral tidak lengkap dan limfosit self-reaktif yang mengenal antigen tidak diekspresikan dalam sumsum tulang atau timus, maka sistem imun biasanya tidak responsif terhadap self-antigen oleh karena ada dalam keadaan anergi.Mengapa sel autoreaktif dipertahankan dalam keadaan inaktif, tidaklah jelas. Diduga limfosit anergik tidak memberikan respons terhadap self-antigen dengan kadar yang diekspresikan pada keadaan normal oleh sel sehat, namun responsif terhadap peningkatan ekspresi antigen pada sel kanker.

a.       CTL.

Banyak studi menunjukkan bahwa kanker yang mengekspresikan antigen unik dapat memacu CTL/Tc spesifik yang dapat mnghancurkan kanker. CTL biasanya mengenal peptida asal TSA yang diikat MHC-I. CTL tidak selalu efisien, disamping respons CTL tidak selalu terjadi pada kanker.

b.      Sel NK.

Sel NK adalah sitotoksik yang mengenal sel sasaran yang tidak antigen spesifik dan juga tidak MHC dependen. Diduga bahwa fungsi terpenting sel NK adalah antikanker. Sel NK juga mengekspresikan IgG-R yang dapat membunuh sel sasaran melalui ADCC dan melalui penglepasan protease, perforin dan granzim.

c.       Makrofag.

Makrofag juga memiliki enzim dengan fungsi sitotoksik dan melepas mediator oksidatif seperti superoksid dan oksida nitrit. Makrofag juga melepas TNF-α yang mengawali apoptosis. Diduga makrofag mengenal sel kanker melalui IgG-R yang berikat dengan antigen kanker. Makrofag juga dapat memakan dan mencerna sel kanker dan mempresentasikannya ke sel CD4+. Jadi makropag dapat berfungsi sebagai inisiator dan efektor imun terhadap kanker.

Adapun efektor sistem imun humoral dan selular pada destruksi kanker dapat disimpulkan sebagai berikut :

a.       Mekanisme humoral.

·         Lisis oleh antibodi dan komplemen.
·         opsonisasi melalui antibodi dan komplemen.
·         Hilangnya adhesi oleh antibodi.
b.      Mekanisme selular.

·         Destruksi oleh sel CTl/Tc.
·         Destruksi oleh sel NK.
·         Destruksi oleh makrofag.

Immunosurveillance kanker 

Immunosurveillance adalah suatu mekanisme yang digunakan oleh tubuh untuk bereaksi melawan setiap antigen yang diekspresikan oleh neoplasma. Fungsi primer dari sistem imun adalah untuk mengenal dan mendegradasi antigen asing (nonself) yang timbul dalam tubuh. 

Dalam immunosurveillance, sel mutan dianggap akan mengekspresikan satu atau lebih antigen yang dapat dikenal sebagai nonself. Sel mutan dianggap sering timbul dalam tubuh manusia dan tetapi secara cepat dihancurkan oleh mekanisme imunologis. Pada tikus yang kehilangan imunitas seluler dan terpapar agen onkogenik akan lebih cepat timbul tumor. Ini dianggap merupakan bukti mekanisme immunosurveillance. Pasien dengan stadium lanjut lebih sering dalam keadaan imunosupresi dibanding pasien stadium awal. 

Pasien yang memakan obat imunosupresif setelah transplantasi renal mengalami peningkatan insidensi keganasan (100 kali lebih besar dari kontrol). Hampir 50% tumor pada pasien imunosupresi berasal dari jaringan mesenkim, contohnya sarkoma sel retikulum, tapi insiden neoplasia intraepitelial seperti CIN (Cervical Intraepithelial Neoplasia) juga lebih banyak dilaporkan. Walaupun ada penjelasan bagaimana immunosurveillance mengatasi kanker, tapi kurang bukti bahwa mekanisme imun dapat menghalangi pertumbuhan kanker. Sel NK ternyata paling berperan dalam immunosurveillance tumor, ia dapat membunuh sel tumor langsung tanpa perlu disensitisasi terlebih dahulu. Dalam immunosurveillance dianggap ada keadaan imunosupresi yang menyertai keadaan tumbuhnya tumor, terutama depresi sel NK. Salah satu syarat induksi tumor dengan bahan karsinogenik pada hewan percobaan adalah adanya gangguan pada sistim imun terutama sel NK.

Immunological Escape

Kelainan imunokompetensi terlihat pada penderita keganasan limforetikuler maupun tumor solid. Pada gangguan keganasan sel B seperti mieloma multipel dan leukemia mielositik kronik dijumpai gangguan sel B poliklonal, defisiensi sel Th, kelebihan sel Ts dan penurunan rasio sel T4 : T8 pada tumor solid seperti Ca (Carcinoma) ovarium jarang dijumpai kelainan sel B. 

Kelainan monosit dan sel T telah terlihat pada penderita karsinoma metastatik dan sarkoma, terutama stadium lanjut. Parahnya gangguan sel T bervariasi dari berbagai jenis tumor sesuai asalnya. 

Walaupun gangguan sistem imunitas lebih berat pada kasus lanjut dan pada pasien yang diperkirakan tumornya akan kambuh kembali, namun korelasinya tidak pasti untuk digunakan dalam penanganan klinis pasien.

1.      Imunokompetensi.

Pada penderita kanker dengan pembedahan Depresi sel T dan B sementara terlihat pada kasus postoperatif. Gangguan imunitas maksimal terjadi selama minggu pertama setelah pembedahan, biasanya fungsi sel T akan kembali normal 1 bulan. Lama dan intensitas imunosupresi berhubungan dengan jumlah trauma operasi, lama prosedur dan imunokompetensi sebelum operasi. Dari penelitian hewan ternyata bahwa prosedur pembedahan dan anestesia mempengaruhi sistem imun. Stress anestesia dan pembedahan dapat merangsang pelepasan hormon termasuk glukokortikoid. Sel supresor juga dapat dirangsang, mungkin sebagai respons terhadap produk nekrosis jaringan. Pembuangan jaringan limforetikuler dapat mengganggu fungsi imun.

Penelitian pada pasien kanker menunjukkan bahwa, splenektomi dapat mempermudah timbulnya sepsis fulminan akibat bakteri. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi ini berhubungan dengan umur, penyakit penyerta dan modalitas pengobatan kankernya. Tambahan radiasi kelenjar getah bening dan kemoterapi akan menyebabkan gangguan lebih besar terhadap fungsi sel B. Beberapa peneliti bahkan menggunakan injeksi Penisilin profilaksis, vaksin pneumokokus pada pasien post splenektomi sebelum diberi kemoterapi atau radioterapi. Kerentanan ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan fagositosis dan gangguan pembentukan antibodi dini.

Namun splenektomi pada model hewan meningkatkan ketahanan terhadap pertumbuhan tumor, mungkin dengan gangguan terhadap produksi antibodi antitumor spesifik atau dengan menghilangkan sumber utama sel T supresor.

2.      Imunokompetensi.

Pada penderita kanker dengan radioterapi Radiasi berpengaruh terhadap limfosit, sehingga akan mengalami kematian interfase dalam beberapa jam tanpa terjadinya mitosis. Sebelum rangsangan, antigen limfosit hanya menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk memperbaiki kerusakan DNA akibat Radiasi. Setelah rangsangan antigen, sel plasma maupun sel reflektor menjadi lebih radioresisten. Limfopenia terjadi bukan hanya akibat radiasi terhadap jaringan limfoid, tapi juga akibat destruksi limfosit pada daerah tepi. Level sel T dan B dapat berkurang, tergantung bagian yang diradiasi. Walaupun terjadi penurunan kadar sel B, respons humoral biasanya tetap.

Radiasi limfoid total dapat menyebabkan penurunan yang menetap pada kadar sel T. Respons proliferatif sel T terhadap mitogen atau antigen histokompatibilitas dapat tertekan selama bertahun-tahun. Radiasi total badan dengan dosis besar dapat menyebabkan penurunan yang hebat dari seluruh sel limforetikuler, sel I CD 3, sel T CD 8, pada daerah tepi dalam 1-2 minggu, tapi untuk mencapai kembali rasio normal T4 : T8 perlu lebih dari setahun. Level monosit tidak menurun secara bermakna selama radioterapi dan kebanyakan makrofag resisten terhadap radiasi.

3.      Imunokompetensi.

Pada penderita kanker dengan kemoterapi Kebanyakan sitostatika bersifat imunosupresif terkecuali Bleomisin dan Vincristin dalam dosis terapeutik. 

Kemoterapi intermiten biasanya kurang imunosupresif dibanding dengan tipe kontinu. Fungsi sel T dan B dapat kembali di antara seri pengobatan walaupun gangguan menetap dapat terlihat setelah pengobatan yang lama atau bila kemoterapi dan radiasi digabung. Glukokortikoid mempengaruhi fungsi dan resirkulasi pada darah tepi, level limfosit lebih dipengaruhi dibanding monosit. Level sel T lebih dipengaruhi dibanding sel B dan sel T CD 4 lebih terpengaruh dibanding sel T CD 8.

Pada kemoterapi dosis tinggi glukokortikoid dapat menghambat setiap fungsi sel limforetikuler, namun faktor inhibisi makrofag tetap dihasilkan. Induksi sel supresor dapat dihambat glukokortikoid tapi sekali terpapar biasanya sel supresor akan relatif resisten terhadap steroid. Sel NK sensitif terhadap glukokortikoid, namun sel K resisten. Kemampuan respon makrofag dan monosit terhadap mediator terhambat jelas.

Kemampuan fagositosis monosit dipertahankan sedangkan fungsi bakterisidalnya dihambat. Siklosfosfamid mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sel B dibanding sel T, dalam dosis rendah menghambat sel supresor dan meningkatkan efek sel T CD 8 daripada sel T CD 4, pada dosis lebih tinggi sel T CD 8 dan sel T CD 4 menurun. Efek imunosupresif bahan pangalkil dan antimetabolit berhubungan sebagian dengan toksisitas terhadap sel yang berproliferasi.

Bahan pengalkil seperti siklofosfamid dapat menekan produksi antibodi, sedangkan antimetabolit seperti 5 Fluorourasil, 6 Merkaptopurin dan Sitarabin, Metotreksat akan efektif setelah pemberian antigen dan bila sel B sedang berproliferasi. Bila sel telah berhenti berproliferasi dan limfosit sudah matur maka respons seluler maupun humoral menjadi resisten terhadap agen sitotoksik

1 komentar:

  1. Most of the critiques you'll examine are written by means of humans who've tried and tested the products or services this is indexed. you may find statistics regarding no longer simplest this system and the benefit of use http://musclegainfast.com/ef13-muscle-supplement/

    BalasHapus