Respon
Imun Terhadap Mikroorganisme
Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit
melalui beberapa mekanisme, yaitu:
·
Merangsang reaksi inflamasi yang
menyebabkan distruksi jaringan ditempat infeksi, contoh:
a. Kokus
piogenik yang sering menimbulkan infeksi supratif yang hebat.
b. Produksi
toksin yang menghasilkan bebagai efek patologik.
Toksin
dapat berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen
dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator
produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta aktivator poliklonal sel
limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunya efek sitotoksik dengan mekanisme
yang belum jelas benar, contoh:
a. Toksin
difteri menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat
elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua peptide.
b. Toksin
kolera merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang
menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat.
c. Toksin
tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada
neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat
fatal bila mengenai otot pernapasan.
d. Toksin
klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas
gangren. Respon imunterhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi
bakteri serta netralisasi efek toksin.
Terdapat 3 mekanisme respon imun terhadap bakteri
ekstraselular, yaitu:
·
Reaksi non spesifik.
Tubuh
memiliki imunitas bawaan (innate immunity) yang merupakan garis pertahanan
terdepan dari system imun setelah kulit dan mukosa. Dalam sistem imunitas
bawaan ini PNM dan makrofag memegang peranan yang cukup penting. Sel-sel PNM
sebagai fagosit yang predominan dalam sirkulasi adalah sel yang pertama tiba
dilokasi infeksi karena tertarik oleh sinyal faktor kemotaksis yang dikeluarkan
oleh bakteri. Neutrofit atau makrofag yang telah lebih dulu berada ditempat
infeksi (jadi merupakan mekanisme umpan balik) atau dilepaskan oleh komplemen.
Sel PNM sangat peka terhadap faktor kemotaksis tersebut melakukan adhesi pada
endotel atau jaringan lain maupun pada dinding makroba.
Kemampuan
adhesi PNM bertambah karena sinyal tersebut juga meransang ekspresi reseptor Fc
maupun reseptor komplemen pada permukaan sel. Selanjutnya PNM melakukan
diapedesis untuk tiba ditempat infeksi lalu menangkap dan menelan mikroba
kemudian membunuhnya.
Proses
fegositosis berlangsung dalam 5 fase secara berurutan, yaitu:
a. Fase
pergerakan.
b. Fase
pelekatan.
c. Fase
penelanan (ingestion).
d. Fase
degranulasi.
e. Fase
pembunuhan ( killing).
Proses
penelanan bakteri terjadi karena fagosit membentuk tonjolan pseudopodia,
kemudian membentuk kantong yang mengelilingi bakteri dan mengurungnya, sehingga
bakteri tertangkap dalam kantung (vakuola) yang disebut fagosom. Dinding
fagosom dengan demikian terdiri dari atas dinding bagian luar fagosit.
Selanjutnya
granula intraselular yang berisi berbagai jenis enzim dan protein lain bergabung
(fusi) dengan fagosom, lalu dalam waktu beberapa detik terjadi degranulasi dan
respiratory burst. Enzim dan protein yang terdapat dalam granula mampu
membununh kuman, baik dengan proses oksidatif maupun non-oksidatif.
Proses
oksidatif ada yang berlangsung dengan mieloperoksidase dan ada yang tidak. Pada
proses oksidatif yang berlangsung dengan mieloperoksidase reaksi didasarkan
atas pengikat H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase, membentuk
komplek enzim-substrat dengan daya oksidatif tinggi. Proses oksidatif
menghasilkan berbagai zat toksik, misal asam hipoklorat (HOCL) yang merupakan
oksidan yang paling kuat membunuh bakteri.
Pada
proses oksidatif yang berlangsung tanpa mieloperoksidase, oksidasi masih dapat
berlangsung karena adanya H2O2, superoksida dan radikal hidroksil, namun daya
oksidatifnya tidak tinggi.
Proses
non-oksidatif berlangsung dengan bantuan berbagai protein sitolitik minsalnya
flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim, katepsin-G, difensin dan
lain-lain. Mekanisme pembunuhan nonoksidatif dapat terjadi karena protein
bermuatan positif yang ada dalam PNM dan magrofag dalam suasana pH alkali
bersifat toksik dan dapat merusak lapisan dinding kuman gram-negatif.
Namun
ada juga jenis kuman lain yang justru dapat terbunuh pada saat pH dalam fogosom
berubah menjadi asam, atau pada pH optimum untuk aktifitas lisozim. Dengan
berbagai proses seolah-olah PNM memproduksi anti mikroba yang berperan sebagai
antibiotika alami (natural antibiotics). Berbagai faktor diluar PNM membantu
PNM melaksanakan tugasnya, salah satu mediator diantaranya adalah interleukin 4
yang diketahui berfungsi sebagai activator neutrofil.
·
Reaksi spesifik.
Sel-sel
dalam system imun yang bereaksi spesifik dengan mikroba dalam limfosit B yang
memproduksi antibodi, limposit T yang mengatur sintesis antibodi maupun sel T
yang mempunyai fungsi efektor sitoksitas langsung. Untuk fungsi sel-sel ini
dibantu oleh sel-sel lain yang memproses dan menyajikan mikroba serta
melepaskan berbagai mediator, sehingga terjadi respon inflamasi yang
dikehendaki.
Untuk
menimbulkan respon antibodi, sel B dan sel T harus berinteraksi satu dengan
yang lainnya. Hal ini diawali dengan tertangkapnya mikroba oleh makrofag atau
monosit yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) yang menyajikan
antigen mikroba kepada sel Th. Makrofag menangkap mikroba yang telah
diopsonisasi dengan IgG, melakukan endositosis , memproses antigen lalu
menampilkannya kembali (eksositosis) bersama-sama dengan ekspresi MHC kelas II
kepada sel Th. Atas pengenalan itu sel Th merangsang sel B untuk memproduksi
antibiotik spesifik terhadap mikroba bersangkutan.
·
Interaksi antara mikroba dengan sistem
imun.
Beberapa
jenis bakteri mampu menghindarkan diri dari proses fagositosis dan respon imun
dengan berbagai cara, yaitu:
a. Memproduksi
toksin yang menghambat kemotaksis.
b. Membentuk
kapsul sehingga fagosi tidak dapat melekat.
c. Memproduksi
molekul-molekul yang menghambat proses fusi lisosom dengan fagosom, atau
substansi yang menghambat magrofag bereaksi dengan IFN.
d. Mengganggu
fungsi magrofag sebagai APC.
e. Memproduksi
substansi ekstraseluler (slime) yang menghambat fagositosis PNM.
Disamping
itu, infeksi bakteri dapat menyebabkan penurunan produksi sitokin
pro-inflamatorik seperti TNF-a, IL-1B,
IL-6 yang diperlukan melawan bakteri. Pelepasan sitokin secara berlebihan
akibat rangsangan endotoksin gram bakteri, dapat mengakibatkan DIC dengan
konsekuensi gangguan pembekuan darah, perubahan permeabilitas vascular, kolaps
sirkulasi dan nekrosis hemoragik.
Mekanisme
terjadinya kelainan ini diduga karena sitokin seperti TNF dan IL-1 menyebabkan ekspresi
molekul adhesi pada endotel dan pelepasan tromboplastin jaringan, sehingga
meningkatkan adhesi sel-sel dalam sirkulasi dan aktivasi faktor-faktor
pembekuan.
Sebaliknya
system imun mempunyai banyak cara untuk melawan upaya bakteri diatas, agar fagositosis
tetap dapat berlangsung. Berbagai jenis antibodi spesifik yang dimiliki
seseorang sangat membantu hal ini. Pertama-tama antbodi berguna dalam
menetralisir toksin.
Antibodi
dapat mengikat toksin demikian rupa sehingga toksin tidak dapat beraksi dengan
substrat. Dengan terikatnya toksin oleh antibody, terbentuklah kompleks yang
dapat dihancurkan oleh fagosit, khususnya apabila komplek itu berukuran besar
akibat bereaksi dengan anti-IgG atau anti-C3b yang terdapat sebagai
autoantibodi alami.
Opsonisasi
bakteri dengan antibodi dan komplemen mempermudah fagosit melekat pada bakteri
karena fagosit memiliki reseptor-reseptor untuk fragmen Fc IgA dan untuk C3b.
Perlekatan bakteri pada permukaan mukosa dicegah dengan melapisi bakteri dengan
IgA sekretorik (sIgA). Bila bakteri dapat mengatasi sawar IgA dan tetap dapat menembus
mukosa, maka system imun berikutnya yang bekerja adalah IgE, terutama yang
melekat pada mastosit.
Proses
selanjutnya adalah degranulasi mastosit dan penglepasan berbagai mediator sehingga
terjadi reaksi inflamasi lokal. Sel-sel PNM yang tiba ditempat infeksi
selanjutnya melakukan fagositosis, tetapi bila bakteri bersangkutan ternyata
berukuran besar dan sulit difagositosis, bakteri dihancurkan melalui mekanisme
sitotoksisitas dengan bantuan antibodi (antibodi dependent cell mediated
cytotoxicity, ADCC).
Respon
Imun Terhadap Bakteri Intraselular
Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat
lolos serta mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen
diantaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag, contohnya
mikrobakteria dan Listeria monocytogenes.
Imunitas
Alamiah Terhadap Bakteri Intraselular
Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap
mikroorganisme intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen
intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear.
Oleh karena itu, mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah
penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit
diberantas.
Respon
Imun Spesifik Terhadap Bakteri Intraselular
Respon imun spesifik terhadap bakteri intraselular
terutama diperankan oleh Cell Mediated Immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini
diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk di eleminasi
bakteri diperankan makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh
sel T terutama interferona (IFN a).
Respon imun ini analog dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular merupakan stimulus
kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara
langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan, minsalnya muramil dipeptida
pada dinding sel mikrobakteria. Telah disebutkan diatas bahwa fungsi sel
limfosit T pada CMUI adalah produksi sitikon terutama IFN a. Sitikon IFN a ini
akan mengaktivasi makrofag termaksut makrofag yang terinfeksi untuk membunuh
bakteri.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga
menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan
pengumpalan lokal makrofag yang teraktivasi membentuk granuloma disekeliling
mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini
berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas sehingga
menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi, kerusakan jaringan ini disebabkan
terutama oleh respon imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular.
Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak
memproduksi toksin atau enzim yang secara langsung merusak jaringan yang
terinfeksi.
Paparan pertama terhadap mikobakterium tuberculosis
akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi
dalam sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal
(dormant). Pada saat yang sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk
imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa
dapat terjadi pada lokasi bakteri persiten atau pada paparan bakteri
berikutnya. Jadi, imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang
menyebabkan kerusakan jaringan adalah manifestasi dalam respon imun spesifik
yang sama.
Terapi
Imunoglobulin Pada Infeksi
Pada keadaan infeksi bakteri yang berat, dapat
terjadi kelelahan respon imun (exhaustion) pada individu yang mempunyai respons
imun yang normal dan keadaan ini dapat terjadi pelepasan mediator yang
meransang timbulnya syok septik. Dalam keadaan ini terapi penunjang dengan
intravenous immunoglobuline (IVIG) dapat diberikan.
Terapi IVIG ini secara pasif untuk membantu sistem
imuntubuh dengan antibodi yang spesifik terhadap bakteri serta eksotoksin dan
endotoksin yang sesuai. Distribusi subkelas IgG harus mirip seperti dalam
plasma normal dan sanggup memicu eliminasi antigen secara imunologik. Pemberian
IVIG dosis tinggi harus dilakukan dalam jangka pendek tanpa resiko penekanan
terhadap sistem imun endogen.
Terdapat 2 jenis preparat IVIG, yaitu:
·
Preparat IVIG yang dipecah oleh plasmin.
Plasmin
memecah melokul IgG 7S pada tempat spesifik, yaitu ikatan disulfida pada tempat
CHI yang berseberangan dari rantai berat. Keadaan ini akan melepaskan dua
fragmen Fab bebas dan satu fragmen Fc. Efek aktivasi komplemen tidak bertahan
lama tetapi meninggalkan efek imunosupresif. Oleh karena itu , sering digunakan
pada terapi penyakit autoimun. Hanya IgG 2 yang resisten terhadap plasma
sehingga masih mengandung sekitar 25% IgG 2.
·
Preparat IVIG yang dipecah oleh pepsin.
Enzim
pepsin memecah keempat subkelas IgG pada sisi bawah ikatan disulfida kedua
rantai berat molekul imunoglobulin. Pemecahan oleh pepsin menghasilkan fragmen
IgG dengan 2 rantai pengikat antigen yang masih berhubungan dengan ikatan
disulfida yang disebut Fab2. Fragmen Fc-nya dengan cepat dimetabolisme sebagai
polipeptida dan diekskresi melalui ginjal sehingga tidak mempunyai peranan imunologi
lagi.
Oleh karena itu, preparat IVGI ini bebas dari
fragmen Fc sehingga tidak menyebabkan supresi sistem imun endogen. Preparat
IVIG yang hanya mengandung 2 fragmen F (ab)2 akan migrasi ke regio 5S pada
sentrifugasi, mempunyai indikasi khusus dalam situasi klinis pada saat sistem
imun mengalami kelelahan karena infeksi akut yang berat.
Oleh karena itu, pengobatan IVIG 5S dosis tinggi
diperlukan untuk menunjang mekanisme kekebalan pada pasien yang mengalami
gangguan imunitas. Dibandingkan dengan IgG 7S yang mempunyai waktu paruh
sekitar 20 hari, IgG 5S mempunyai waktu paruh lebih pendek yaitu 12-36 jam
sehingga tidak akan mengikat reseptor Fc yang menyebabkan imunosupresi.
Your medical doctor can offer you with healthful equipment for your weight reduction adventure and monitor your progress. in case you hit a street block, he will let you determine out why. http://greentheorygarcinia.com/pure-asian-garcinia/
BalasHapus