Senin, 12 Desember 2016

IMUNITAS TERHADAP MIKROORGANISME



Respon Imun Terhadap Mikroorganisme 

Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme, yaitu:

·         Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan distruksi jaringan ditempat infeksi, contoh:

a.       Kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supratif yang hebat.

b.      Produksi toksin yang menghasilkan bebagai efek patologik.

Toksin dapat berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta aktivator poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunya efek sitotoksik dengan mekanisme yang belum jelas benar, contoh:

a.       Toksin difteri menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua peptide.

b.      Toksin kolera merangsang sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat.

c.       Toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan.

d.      Toksin klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas gangren. Respon imunterhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi bakteri serta netralisasi efek toksin.

Terdapat 3 mekanisme respon imun terhadap bakteri ekstraselular, yaitu:

·         Reaksi non spesifik.

Tubuh memiliki imunitas bawaan (innate immunity) yang merupakan garis pertahanan terdepan dari system imun setelah kulit dan mukosa. Dalam sistem imunitas bawaan ini PNM dan makrofag memegang peranan yang cukup penting. Sel-sel PNM sebagai fagosit yang predominan dalam sirkulasi adalah sel yang pertama tiba dilokasi infeksi karena tertarik oleh sinyal faktor kemotaksis yang dikeluarkan oleh bakteri. Neutrofit atau makrofag yang telah lebih dulu berada ditempat infeksi (jadi merupakan mekanisme umpan balik) atau dilepaskan oleh komplemen. Sel PNM sangat peka terhadap faktor kemotaksis tersebut melakukan adhesi pada endotel atau jaringan lain maupun pada dinding makroba.

Kemampuan adhesi PNM bertambah karena sinyal tersebut juga meransang ekspresi reseptor Fc maupun reseptor komplemen pada permukaan sel. Selanjutnya PNM melakukan diapedesis untuk tiba ditempat infeksi lalu menangkap dan menelan mikroba kemudian membunuhnya.

Proses fegositosis berlangsung dalam 5 fase secara berurutan, yaitu:

a.       Fase pergerakan.
b.      Fase pelekatan.
c.       Fase penelanan (ingestion).
d.      Fase degranulasi.
e.       Fase pembunuhan ( killing).

Proses penelanan bakteri terjadi karena fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantong yang mengelilingi bakteri dan mengurungnya, sehingga bakteri tertangkap dalam kantung (vakuola) yang disebut fagosom. Dinding fagosom dengan demikian terdiri dari atas dinding bagian luar fagosit.

Selanjutnya granula intraselular yang berisi berbagai jenis enzim dan protein lain bergabung (fusi) dengan fagosom, lalu dalam waktu beberapa detik terjadi degranulasi dan respiratory burst. Enzim dan protein yang terdapat dalam granula mampu membununh kuman, baik dengan proses oksidatif maupun non-oksidatif.

Proses oksidatif ada yang berlangsung dengan mieloperoksidase dan ada yang tidak. Pada proses oksidatif yang berlangsung dengan mieloperoksidase reaksi didasarkan atas pengikat H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase, membentuk komplek enzim-substrat dengan daya oksidatif tinggi. Proses oksidatif menghasilkan berbagai zat toksik, misal asam hipoklorat (HOCL) yang merupakan oksidan yang paling kuat membunuh bakteri.

Pada proses oksidatif yang berlangsung tanpa mieloperoksidase, oksidasi masih dapat berlangsung karena adanya H2O2, superoksida dan radikal hidroksil, namun daya oksidatifnya tidak tinggi.

Proses non-oksidatif berlangsung dengan bantuan berbagai protein sitolitik minsalnya flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim, katepsin-G, difensin dan lain-lain. Mekanisme pembunuhan nonoksidatif dapat terjadi karena protein bermuatan positif yang ada dalam PNM dan magrofag dalam suasana pH alkali bersifat toksik dan dapat merusak lapisan dinding kuman gram-negatif.

Namun ada juga jenis kuman lain yang justru dapat terbunuh pada saat pH dalam fogosom berubah menjadi asam, atau pada pH optimum untuk aktifitas lisozim. Dengan berbagai proses seolah-olah PNM memproduksi anti mikroba yang berperan sebagai antibiotika alami (natural antibiotics). Berbagai faktor diluar PNM membantu PNM melaksanakan tugasnya, salah satu mediator diantaranya adalah interleukin 4 yang diketahui berfungsi sebagai activator neutrofil.

·         Reaksi spesifik.

Sel-sel dalam system imun yang bereaksi spesifik dengan mikroba dalam limfosit B yang memproduksi antibodi, limposit T yang mengatur sintesis antibodi maupun sel T yang mempunyai fungsi efektor sitoksitas langsung. Untuk fungsi sel-sel ini dibantu oleh sel-sel lain yang memproses dan menyajikan mikroba serta melepaskan berbagai mediator, sehingga terjadi respon inflamasi yang dikehendaki.

Untuk menimbulkan respon antibodi, sel B dan sel T harus berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal ini diawali dengan tertangkapnya mikroba oleh makrofag atau monosit yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) yang menyajikan antigen mikroba kepada sel Th. Makrofag menangkap mikroba yang telah diopsonisasi dengan IgG, melakukan endositosis , memproses antigen lalu menampilkannya kembali (eksositosis) bersama-sama dengan ekspresi MHC kelas II kepada sel Th. Atas pengenalan itu sel Th merangsang sel B untuk memproduksi antibiotik spesifik terhadap mikroba bersangkutan.

·         Interaksi antara mikroba dengan sistem imun.

Beberapa jenis bakteri mampu menghindarkan diri dari proses fagositosis dan respon imun dengan berbagai cara, yaitu:

a.       Memproduksi toksin yang menghambat kemotaksis.
b.      Membentuk kapsul sehingga fagosi tidak dapat melekat.
c.       Memproduksi molekul-molekul yang menghambat proses fusi lisosom dengan fagosom, atau substansi yang menghambat magrofag bereaksi dengan IFN.
d.      Mengganggu fungsi magrofag sebagai APC.
e.       Memproduksi substansi ekstraseluler (slime) yang menghambat fagositosis PNM.

Disamping itu, infeksi bakteri dapat menyebabkan penurunan produksi sitokin pro-inflamatorik seperti TNF-a, IL-1B, IL-6 yang diperlukan melawan bakteri. Pelepasan sitokin secara berlebihan akibat rangsangan endotoksin gram bakteri, dapat mengakibatkan DIC dengan konsekuensi gangguan pembekuan darah, perubahan permeabilitas vascular, kolaps sirkulasi dan nekrosis hemoragik.

Mekanisme terjadinya kelainan ini diduga karena sitokin seperti TNF dan IL-1 menyebabkan ekspresi molekul adhesi pada endotel dan pelepasan tromboplastin jaringan, sehingga meningkatkan adhesi sel-sel dalam sirkulasi dan aktivasi faktor-faktor pembekuan.

Sebaliknya system imun mempunyai banyak cara untuk melawan upaya bakteri diatas, agar fagositosis tetap dapat berlangsung. Berbagai jenis antibodi spesifik yang dimiliki seseorang sangat membantu hal ini. Pertama-tama antbodi berguna dalam menetralisir toksin.

Antibodi dapat mengikat toksin demikian rupa sehingga toksin tidak dapat beraksi dengan substrat. Dengan terikatnya toksin oleh antibody, terbentuklah kompleks yang dapat dihancurkan oleh fagosit, khususnya apabila komplek itu berukuran besar akibat bereaksi dengan anti-IgG atau anti-C3b yang terdapat sebagai autoantibodi alami.

Opsonisasi bakteri dengan antibodi dan komplemen mempermudah fagosit melekat pada bakteri karena fagosit memiliki reseptor-reseptor untuk fragmen Fc IgA dan untuk C3b. Perlekatan bakteri pada permukaan mukosa dicegah dengan melapisi bakteri dengan IgA sekretorik (sIgA). Bila bakteri dapat mengatasi sawar IgA dan tetap dapat menembus mukosa, maka system imun berikutnya yang bekerja adalah IgE, terutama yang melekat pada mastosit.

Proses selanjutnya adalah degranulasi mastosit dan penglepasan berbagai mediator sehingga terjadi reaksi inflamasi lokal. Sel-sel PNM yang tiba ditempat infeksi selanjutnya melakukan fagositosis, tetapi bila bakteri bersangkutan ternyata berukuran besar dan sulit difagositosis, bakteri dihancurkan melalui mekanisme sitotoksisitas dengan bantuan antibodi (antibodi dependent cell mediated cytotoxicity, ADCC).

Respon Imun Terhadap Bakteri Intraselular 

Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos serta mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen diantaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag, contohnya mikrobakteria dan Listeria monocytogenes.

Imunitas Alamiah Terhadap Bakteri  Intraselular 

Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu, mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas.

Respon Imun Spesifik Terhadap Bakteri Intraselular

Respon imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh Cell Mediated Immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk di eleminasi bakteri diperankan makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferona (IFN a).

Respon imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan, minsalnya muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria. Telah disebutkan diatas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMUI adalah produksi sitikon terutama IFN a. Sitikon IFN a ini akan mengaktivasi makrofag termaksut makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri.

Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpalan lokal makrofag yang teraktivasi membentuk granuloma disekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas sehingga menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi, kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respon imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi. 

Paparan pertama terhadap mikobakterium tuberculosis akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal (dormant). Pada saat yang sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persiten atau pada paparan bakteri berikutnya. Jadi, imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan jaringan adalah manifestasi dalam respon imun spesifik yang sama.

Terapi Imunoglobulin Pada Infeksi

Pada keadaan infeksi bakteri yang berat, dapat terjadi kelelahan respon imun (exhaustion) pada individu yang mempunyai respons imun yang normal dan keadaan ini dapat terjadi pelepasan mediator yang meransang timbulnya syok septik. Dalam keadaan ini terapi penunjang dengan intravenous immunoglobuline (IVIG) dapat diberikan.

Terapi IVIG ini secara pasif untuk membantu sistem imuntubuh dengan antibodi yang spesifik terhadap bakteri serta eksotoksin dan endotoksin yang sesuai. Distribusi subkelas IgG harus mirip seperti dalam plasma normal dan sanggup memicu eliminasi antigen secara imunologik. Pemberian IVIG dosis tinggi harus dilakukan dalam jangka pendek tanpa resiko penekanan terhadap sistem imun endogen. 

Terdapat 2 jenis preparat IVIG, yaitu:

·         Preparat IVIG yang dipecah oleh plasmin.

Plasmin memecah melokul IgG 7S pada tempat spesifik, yaitu ikatan disulfida pada tempat CHI yang berseberangan dari rantai berat. Keadaan ini akan melepaskan dua fragmen Fab bebas dan satu fragmen Fc. Efek aktivasi komplemen tidak bertahan lama tetapi meninggalkan efek imunosupresif. Oleh karena itu , sering digunakan pada terapi penyakit autoimun. Hanya IgG 2 yang resisten terhadap plasma sehingga masih mengandung sekitar 25% IgG 2.

·         Preparat IVIG yang dipecah oleh pepsin.

Enzim pepsin memecah keempat subkelas IgG pada sisi bawah ikatan disulfida kedua rantai berat molekul imunoglobulin. Pemecahan oleh pepsin menghasilkan fragmen IgG dengan 2 rantai pengikat antigen yang masih berhubungan dengan ikatan disulfida yang disebut Fab2. Fragmen Fc-nya dengan cepat dimetabolisme sebagai polipeptida dan diekskresi melalui ginjal sehingga tidak mempunyai peranan imunologi lagi.

Oleh karena itu, preparat IVGI ini bebas dari fragmen Fc sehingga tidak menyebabkan supresi sistem imun endogen. Preparat IVIG yang hanya mengandung 2 fragmen F (ab)2 akan migrasi ke regio 5S pada sentrifugasi, mempunyai indikasi khusus dalam situasi klinis pada saat sistem imun mengalami kelelahan karena infeksi akut yang berat. 

Oleh karena itu, pengobatan IVIG 5S dosis tinggi diperlukan untuk menunjang mekanisme kekebalan pada pasien yang mengalami gangguan imunitas. Dibandingkan dengan IgG 7S yang mempunyai waktu paruh sekitar 20 hari, IgG 5S mempunyai waktu paruh lebih pendek yaitu 12-36 jam sehingga tidak akan mengikat reseptor Fc yang menyebabkan imunosupresi.

1 komentar:

  1. Your medical doctor can offer you with healthful equipment for your weight reduction adventure and monitor your progress. in case you hit a street block, he will let you determine out why. http://greentheorygarcinia.com/pure-asian-garcinia/

    BalasHapus