Pengertian
Imunologi Kanker
Imunologi kanker adalah studi tentang interaksi
antara sistem kekebalan tubuh dengan sel-sel kanker (juga disebut tumor atau
keganasan). Ini juga merupakan bidang penelitian yang bertujuan untuk menemukan
immunoterapi inovatif guna mengobati kanker dan menghambat perkembangan
penyakit ini.
Kanker
Kanker adalah istilah yang digunakan untuk penyakit
di mana sel-sel membelah secara abnormal tanpa kontrol dan mampu menyerang
jaringan lain. Sel-sel kanker dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh melalui
darah dan sistem getah bening.
Proses Sel normal menjadi sel-sel kanker karena
akibat kerusakan DNA. Dalam sel normal, ketika DNA rusak maka akan terjadinya
perbaikan kerusakan atau sel tersebut akan mati. Namun Dalam sel-sel kanker,
DNA yang rusak tidak diperbaiki, dan sel tersebut tidak mati seperti
seharusnya.
Sebaliknya, sel ini terus membuat sel-sel baru yang tidak
diperlukan tubuh. Sel-sel baru ini semuanya akan memiliki DNA yang rusak.
Dalam kebanyakan kasus sel-sel kanke
membentuk tumor. Namun jenis kanker seperti leukemia, jarang membentuk tumor.
Sebaliknya, sel-sel kanker ini melibatkan darah dan organ pembentuk darah dan
beredar melalui jaringan lain di mana mereka tumbuh.
Sel-sel kanker sering melakukan
perjalanan ke bagian lain dari tubuh, di mana mereka mulai tumbuh dan membentuk
tumor baru yang menggantikan jaringan normal. Proses ini disebut metastasis.
Hal ini terjadi ketika sel-sel kanker masuk ke dalam aliran darah atau pembuluh
getah bening tubuh kita.
Kanker bukan hanya satu penyakit
tapi banyak penyakit. Ada lebih dari 100 jenis kanker yang berbeda. Sebagian
besar kanker diberi nama untuk organ atau jenis sel di mana mereka mulai
berkembang atau terserang. misalnya, kanker yang dimulai di payudara disebut
kanker payudara, kanker yang dimulai di mulut rahim atau serviks disebut kanker
serviks. begitupun dengan kanker pada organ tubuh lainnya.
Respon
Imun Terhadap kanker
Sel kanker dikenal sebagai nonself
yang bersifat antigenik pada sistem imunitas tubuh manusia
sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral.
Cermin
Dunia Kedokteran No. 132, 2001 47 Respons sistem imun terhadap sel kanker dapat
dibagi dua yaitu:
1. Imunitas humoral terhadap kanker.
Meskipun imunitas
selular pada kanker lebih banyak berperan dibanding imunitas humoral, tetapi
tubuh membentuk juga antibodi terhadap antigen kanker.Antibodi tersebut
ternyata dapat menghancurkan sel kanker secar langsung atau dengan bantuan
komplemen atau melalui sel efektor ADCC. Yang akhir memiliki reseptor Fc
misalnya sel NK dan makrofag (opsonisasi) atau dengan jalan mencegah adhesi sel
kanker.
Pada penderita
kanker sering ditemukan kompleks imun, tetapi pada kebanyakan kanker sifatnya
masih belum jelas. Antibodi diduga lebih berperan terhadap sel yang bebas
(leukemia,metastase kanker) dibanding kanker padat. Hal tersebut mungkin
diseabkan karena antibodi membentuk komleks imun yang mencegah sitotoksisitas
sel T.
2. Imunitas
selular terhadap kanker.
Pada pemeriksaan
patologi anatomi kanker, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas
sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mast. Meskipun
pada beberapa neoplasma, infiltrat sel mononuklear merupakan indikator untuk
prognosis yang baik, tetapi pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi
sel dengan prognosis. Sistem imun dapat langsung menghancurkan sel kanker tanpa
sensitasi sebelumnya.
Limfosit matang
akan mengenal TAA dalam pejamu, meskipun TAA merupakan self protein yang
disandi gen normal. Adanya limfosit yang self reaktif nampaknya berlawanan
dengan self-tolerans.
Bila sel B dan sel
T menjadi matang dalam sumsum tulang dan timus, limfosit yang terpajan dan
berikatan dengan self antigen akan mengalami apoptosis. Namun banyak
self-antigen tidak dielkspresikan dalam sumsum tulang atau timus. Oleh karena
deletion sentral tidak lengkap dan limfosit self-reaktif yang mengenal antigen
tidak diekspresikan dalam sumsum tulang atau timus, maka sistem imun biasanya
tidak responsif terhadap self-antigen oleh karena ada dalam keadaan
anergi.Mengapa sel autoreaktif dipertahankan dalam keadaan inaktif, tidaklah
jelas. Diduga limfosit anergik tidak memberikan respons terhadap self-antigen
dengan kadar yang diekspresikan pada keadaan normal oleh sel sehat, namun
responsif terhadap peningkatan ekspresi antigen pada sel kanker.
a. CTL.
Banyak studi menunjukkan bahwa kanker yang mengekspresikan
antigen unik dapat memacu CTL/Tc spesifik yang dapat mnghancurkan kanker. CTL
biasanya mengenal peptida asal TSA yang diikat MHC-I. CTL tidak selalu efisien,
disamping respons CTL tidak selalu terjadi pada kanker.
b. Sel NK.
Sel NK adalah sitotoksik yang mengenal sel sasaran yang tidak
antigen spesifik dan juga tidak MHC dependen. Diduga bahwa fungsi terpenting
sel NK adalah antikanker. Sel NK juga mengekspresikan IgG-R yang dapat membunuh
sel sasaran melalui ADCC dan melalui penglepasan protease, perforin dan granzim.
c. Makrofag.
Makrofag juga memiliki enzim dengan fungsi sitotoksik dan
melepas mediator oksidatif seperti superoksid dan oksida nitrit. Makrofag juga
melepas TNF-α yang mengawali apoptosis. Diduga makrofag mengenal sel kanker melalui
IgG-R yang berikat dengan antigen kanker. Makrofag juga dapat memakan dan
mencerna sel kanker dan mempresentasikannya ke sel CD4+. Jadi makropag dapat
berfungsi sebagai inisiator dan efektor imun terhadap kanker.
Adapun efektor sistem imun humoral dan selular pada destruksi
kanker dapat disimpulkan sebagai berikut :
a.
Mekanisme humoral.
·
Lisis oleh antibodi dan
komplemen.
·
opsonisasi melalui
antibodi dan komplemen.
·
Hilangnya adhesi oleh antibodi.
b. Mekanisme
selular.
·
Destruksi oleh sel
CTl/Tc.
·
Destruksi oleh sel NK.
·
Destruksi oleh makrofag.
Immunosurveillance
kanker
Immunosurveillance adalah suatu mekanisme yang
digunakan oleh tubuh untuk bereaksi melawan setiap antigen yang diekspresikan
oleh neoplasma. Fungsi primer dari sistem imun adalah untuk mengenal dan
mendegradasi antigen asing (nonself) yang timbul dalam tubuh.
Dalam immunosurveillance, sel mutan dianggap akan
mengekspresikan satu atau lebih antigen yang dapat dikenal sebagai nonself. Sel
mutan dianggap sering timbul dalam tubuh manusia dan tetapi secara cepat
dihancurkan oleh mekanisme imunologis. Pada tikus yang kehilangan imunitas
seluler dan terpapar agen onkogenik akan lebih cepat timbul tumor. Ini dianggap
merupakan bukti mekanisme immunosurveillance. Pasien dengan stadium lanjut
lebih sering dalam keadaan imunosupresi dibanding pasien stadium awal.
Pasien yang memakan obat imunosupresif setelah
transplantasi renal mengalami peningkatan insidensi keganasan (100 kali lebih besar
dari kontrol). Hampir 50% tumor pada pasien imunosupresi berasal dari jaringan
mesenkim, contohnya sarkoma sel retikulum, tapi insiden neoplasia
intraepitelial seperti CIN (Cervical Intraepithelial Neoplasia) juga lebih banyak dilaporkan. Walaupun
ada penjelasan bagaimana immunosurveillance mengatasi kanker, tapi kurang bukti
bahwa mekanisme imun dapat menghalangi pertumbuhan kanker. Sel NK ternyata
paling berperan dalam immunosurveillance tumor, ia dapat membunuh sel tumor
langsung tanpa perlu disensitisasi terlebih dahulu. Dalam immunosurveillance
dianggap ada keadaan imunosupresi yang menyertai keadaan tumbuhnya tumor,
terutama depresi sel NK. Salah satu syarat induksi tumor dengan bahan
karsinogenik pada hewan percobaan adalah adanya gangguan pada sistim imun
terutama sel NK.
Immunological
Escape
Kelainan imunokompetensi terlihat pada penderita
keganasan limforetikuler maupun tumor solid. Pada gangguan keganasan sel B
seperti mieloma multipel dan leukemia mielositik kronik dijumpai gangguan sel B
poliklonal, defisiensi sel Th, kelebihan sel Ts dan penurunan rasio sel T4 : T8
pada tumor solid seperti Ca (Carcinoma) ovarium jarang dijumpai kelainan sel B.
Kelainan monosit dan sel T telah terlihat pada
penderita karsinoma metastatik dan sarkoma, terutama stadium lanjut. Parahnya
gangguan sel T bervariasi dari berbagai jenis tumor sesuai asalnya.
Walaupun
gangguan sistem imunitas lebih berat pada kasus lanjut dan pada pasien yang
diperkirakan tumornya akan kambuh kembali, namun korelasinya tidak pasti untuk
digunakan dalam penanganan klinis pasien.
1. Imunokompetensi.
Pada
penderita kanker dengan pembedahan Depresi sel T dan B sementara terlihat pada
kasus postoperatif. Gangguan imunitas maksimal terjadi selama minggu pertama
setelah pembedahan, biasanya fungsi sel T akan kembali normal 1 bulan. Lama dan
intensitas imunosupresi berhubungan dengan jumlah trauma operasi, lama prosedur
dan imunokompetensi sebelum operasi. Dari penelitian hewan ternyata bahwa
prosedur pembedahan dan anestesia mempengaruhi sistem imun. Stress anestesia
dan pembedahan dapat merangsang pelepasan hormon termasuk glukokortikoid. Sel
supresor juga dapat dirangsang, mungkin sebagai respons terhadap produk
nekrosis jaringan. Pembuangan jaringan limforetikuler dapat mengganggu fungsi
imun.
Penelitian
pada pasien kanker menunjukkan bahwa, splenektomi dapat mempermudah timbulnya
sepsis fulminan akibat bakteri. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi ini
berhubungan dengan umur, penyakit penyerta dan modalitas pengobatan kankernya.
Tambahan radiasi kelenjar getah bening dan kemoterapi akan menyebabkan gangguan
lebih besar terhadap fungsi sel B. Beberapa peneliti bahkan menggunakan injeksi
Penisilin profilaksis, vaksin pneumokokus pada pasien post splenektomi sebelum
diberi kemoterapi atau radioterapi. Kerentanan ini disebabkan oleh menurunnya
kemampuan fagositosis dan gangguan pembentukan antibodi dini.
Namun
splenektomi pada model hewan meningkatkan ketahanan terhadap pertumbuhan tumor,
mungkin dengan gangguan terhadap produksi antibodi antitumor spesifik atau
dengan menghilangkan sumber utama sel T supresor.
2. Imunokompetensi.
Pada
penderita kanker dengan radioterapi Radiasi berpengaruh terhadap limfosit,
sehingga akan mengalami kematian interfase dalam beberapa jam tanpa terjadinya
mitosis. Sebelum rangsangan, antigen limfosit hanya menunjukkan kemampuan yang
terbatas untuk memperbaiki kerusakan DNA akibat Radiasi. Setelah rangsangan
antigen, sel plasma maupun sel reflektor menjadi lebih radioresisten.
Limfopenia terjadi bukan hanya akibat radiasi terhadap jaringan limfoid, tapi
juga akibat destruksi limfosit pada daerah tepi. Level sel T dan B dapat
berkurang, tergantung bagian yang diradiasi. Walaupun terjadi penurunan kadar
sel B, respons humoral biasanya tetap.
Radiasi
limfoid total dapat menyebabkan penurunan yang menetap pada kadar sel T.
Respons proliferatif sel T terhadap mitogen atau antigen histokompatibilitas
dapat tertekan selama bertahun-tahun. Radiasi total badan dengan dosis besar
dapat menyebabkan penurunan yang hebat dari seluruh sel limforetikuler, sel I
CD 3, sel T CD 8, pada daerah tepi dalam 1-2 minggu, tapi untuk mencapai
kembali rasio normal T4 : T8 perlu lebih dari setahun. Level monosit tidak
menurun secara bermakna selama radioterapi dan kebanyakan makrofag resisten
terhadap radiasi.
3. Imunokompetensi.
Pada
penderita kanker dengan kemoterapi Kebanyakan sitostatika bersifat
imunosupresif terkecuali Bleomisin dan Vincristin dalam dosis terapeutik.
Kemoterapi
intermiten biasanya kurang imunosupresif dibanding dengan tipe kontinu. Fungsi
sel T dan B dapat kembali di antara seri pengobatan walaupun gangguan menetap
dapat terlihat setelah pengobatan yang lama atau bila kemoterapi dan radiasi
digabung. Glukokortikoid mempengaruhi fungsi dan resirkulasi pada darah tepi,
level limfosit lebih dipengaruhi dibanding monosit. Level sel T lebih
dipengaruhi dibanding sel B dan sel T CD 4 lebih terpengaruh dibanding sel T CD
8.
Pada
kemoterapi dosis tinggi glukokortikoid dapat menghambat setiap fungsi sel limforetikuler,
namun faktor inhibisi makrofag tetap dihasilkan. Induksi sel supresor dapat
dihambat glukokortikoid tapi sekali terpapar biasanya sel supresor akan relatif
resisten terhadap steroid. Sel NK sensitif terhadap glukokortikoid, namun sel K
resisten. Kemampuan respon makrofag dan monosit terhadap mediator terhambat
jelas.
Kemampuan
fagositosis monosit dipertahankan sedangkan fungsi bakterisidalnya dihambat.
Siklosfosfamid mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sel B dibanding sel
T, dalam dosis rendah menghambat sel supresor dan meningkatkan efek sel T CD 8
daripada sel T CD 4, pada dosis lebih tinggi sel T CD 8 dan sel T CD 4 menurun.
Efek imunosupresif bahan pangalkil dan antimetabolit berhubungan sebagian
dengan toksisitas terhadap sel yang berproliferasi.
Most of the critiques you'll examine are written by means of humans who've tried and tested the products or services this is indexed. you may find statistics regarding no longer simplest this system and the benefit of use http://musclegainfast.com/ef13-muscle-supplement/
BalasHapus